Skip to main content

RASISME itu Tradisi. ANTI-RASISME itu Politis


(sebuah tulisan kritis dan menggugah nalar dari seorang yang tercinta di kampus magister yg diedarkan via WA)

Rasisme itu Tradisi. Anti-Rasisme itu Politis
(Dekonstruksi aksi bertagar #blacklivesmatter, June 2020)

Tahun 1960, seorang Bruce Lee membawa kabur Linda ketika orang tua Linda yang kaukasia (bule) menolak keinginan Lee yg berdarah tiongkok menikahi anaknya. Seiring ketenaran dan kesuksesan Brucee Lee pemikiran rasisme yang mengkultur dalam diri orang tua Linda berangsur-angsur teredam.

Rasisme done. 
Lalu apakah seluruh keluarga besar Linda akan berpikir dengan cara yang sama seperti orang tuanya ? Apakah itu tetangganya, kerabatnya atau kebanyakan orang di Amerika Serikat saat itu ?

Tentunya tidak. Alasannya ? karena itulah kultur, tradisi yang ada dalam masyarakat (bule). Sebelum rasisme yang ada adalah tradisi. Sekelompok orang yang telah nyaman hidup dalam kesamaan (ciri, identitas). Kapan tradisi itu berubah menjadi rasisme ? ketika sekelompok orang itu melakukan ekspansi, eksodus, hijrah atau rantau dan bertemu dg kelompok lain.

Tradisi menemui tantangannya, yaitu tradisi yg lain. Individu merasa perlu mem-proteksi identitas kelompoknya. Saat kita merasa "perlu" menyatukan kedua kelompok masyrakat itulah kemudian kita berbicara anti-rasisme.

Hari ini, bagaimana kita akan menyebut rasisme jika afro, asia, bule sama2 berjingkrak dan lebur dalam konser Lady Gaga. Atau sekelompok bule dan asia yang menari di tengah konser diva hispanik, Jenifer Lopez. Tokoh Nick Fury yg afro (padahal seharusnya bule) dalam film Avenger pun begitu familiar, tak kunjung jadi bahan perdebatan.

Dan suatu ketika kita melihat seorang polisi kaukasia yg "membunuh" seorang afro kita spontan menyebutnya rasisme alih-alih sebuah kriminalitas atau kasus pembunuhan ? atau alih-alih menyebutnya gangguan kejiwaan ?

Yang menjadi pertanyaan bukan apakah rasisme bisa hilang tetapi apakah anti-rasisme benar-benar ada ?

kita tidak akan protes dg iklan sabun yg menampilkan image wanita yg berkulit putih sebagai ukuran cantik. Atau sosok pria bule sebagai gambaran pria sukses. Seandainya kita menentang pun, tak juga berdaya meninggalkan channel televisi itu. Tanpa sadar kita sudah dibiasakan dan berdamai dg "pop-racism"

Kultur berevolusi, meninggalkan bentuk rasisme yg lama dan menciptakan "rasisme" yg baru berwujud diskriminasi dalam televisi langsung menuju ruang keluarga kita. Dan kita memberi ruang untuk itu.

Ketika simbol lama (kaukasia & afro) bertemu dalam suatu kejadian George Floyd, mendadak isu rasisme yg  lama ditonjolkan kembali. Orang2 menentangnya dg cara yg sama seperti di era krisis rasisme di AS pada tahun 60an (aksi massa, kerusuhan, penjarahan). Pada titik ini sebaiknya kita bertanya apakah  anti-rasisme adalah sebuah simulacra ?

Istilah simulacra diperkenalkan oleh pemikir aliran postmodern, Jean Baudrillard. Simulacra, secara sederhana ibarat anda mengambil wadah untuk memetik buah jambu. Ketika wadah itu penuh buah jambu dan masih ada sedikit ruang tersisa anda isi bagian atasnya dengan sedikit buah stroberi. Lalu anda mengemas dan menjualnya seakan2 itu sewadah penuh buah stroberi. Seolah-olah anda menjual stroberi yang pada kenyataanya adalah jambu. 

Dalam jual-beli hal seperti ini ujungnya akan dikecam oleh pembeli. Tetapi dalam simulacra sebaliknya.  justru orang maklum dan senang mendapatkan barang "oplosan" itu. Orang terbiasa mendapatkan barang halusinasi itu. Itulah simulacra bercampur aduk antara tanda (simbol) dg objek yg diwakilinya. Penampakan kecil stroberi mengambil alih (mengecoh) persepsi kita untuk mengetahui apa isi wadah yg sesungguhnya. Dan kita menerima persepsi abstrak itu dg serta merta 

Anti-rasisme #blacklivesmatter yg digemakan dalam kasus George Floyd menunjukan bahwa seakan kita masih beperang dengan kultur lama (rasisme lama) sementara kenyataan di Amerika Serikat antar ras sudah melebur hebat dan jauh melangkah. 

Apakah gejolak anti-rasisme itu serupa dengan stroberi di atas tumpukan jambu (simulacra) ?

Sudah bertahun-tahun wacana dan jargon bertema penentangan rasisme didengungkan, tetapi kita sulit menerima fakta bahwa kultur-kultur ras di dunia yg begitu banyak sudah hidup lebih dulu dan mengakar. Lontaran wacana2 anti-rasisme itu ibarat kita memasang kacamata hitam di mata kita karena kita tidak sanggup menutupi seluruh permukaan matahari.

Rasisme tidak akan pernah (benar2) hilang.  Akan selalu ada ruang untuk itu.

Kita harus menerima kenyataan di atas bila ingin mencapai satu hal ini : mendefinisikan anti-rasisme yang sesungguhnya

Wacana, gerakan anti-rasisme dulu dan hari ini harus kita akui hanyalah kumpulan halusinasi, tumpukan paper, kumpulan tagar di media sosial. Eksis tetapi hanya menjadi penanda dan bukan petanda - tumpukan kecil stroberi di atas jambu.

Wacana, gerakan anti-rasisme hanyalah momen yg menandai adanya seorang Nelson Mandela , Abe Lincoln, Martin Luther. Pembatas-pembatas buku. dan bukan buku itu sendiri.

Wacana, gerakan anti-rasisme tidak lebih dari sebuah aksi politis. Berlaku secara mekanis ketimbang komprehensif. Tagar #blacklivesmatter seolah meng-kooptasi (menyandera) simpati netizen untuk "latah" tanpa mereka diberi kesempatan untuk memikirkan secara kritis apa sesungguhnya yg benar2 terjadi. Seolah takut akan adanya pandangan, tanpa menyematkan tagar tersebut berarti seseorang adalah bukan bagian dari mereka. (yg bisa diartikan, bagian dari rasisme)

Aksi anti-rasisme tak luput menjadi korban sengkarut tanda dan fakta dalam oplosan simulacra. Disruption, akal kita lumpuh. Tak mampu lagi memilah mana yg sesungguhnya mana yg tidak. Hanya jiwa latah yg tersisa dalam simpang siurasiur dan porak poranda tanda di media sosial.

Bruce Lee tidak memprotes perlakuan dan pandangan sinis orang2 kaukasia terhadap dirinya. Dia tidak pula membuat buku, artikel, jurnal yg mengkritik soal itu. Yang dia lakukan adalah mengenali dirinya sendiri sampai satu titik dia mendapati dirinya tidak lagi menemui rasisme.

Jackie Chan, Denzel Washington hanyalah contoh kecil orang yg berhasil membuat dirinya mampu mengatasi masalah rasisme. Kita dapat berangkat dari inspirasi, metode, spirit dan cara-cara mereka untuk bisa membebaskan "anti-rasisme" dari jeratan simulacra dan menyegarkan kembali ide kita tentang apa itu anti-rasisme.

Bila kita sudah memijak di batu yg tepat, pada saatnya langkah itu akan menuntun kita mengubah ide anti-rasisme dari halusinasi menjadi solusi. Dari pembatas menjadi buku. Dari politis menjadi kultur.

Go get out of the books. And think out of the box. 👍

Comments

Popular posts from this blog

Kenapa Berlian itu Bernilai ?

Relasi Kuasa. Michel Foucault.

JOKER is The Message

Sebetulnya sudah lama saya ingin mengulik tokoh fiktif Joker ini sejak tragedi  penembakan di Aurora, Colorado 9 tahun lalu yang terinspirasi oleh film trilogi Batman, "The Dark Knight". Dan makin kepingin lagi sejak rilis film "Joker" (2019) besutan Warner Bros yang kontroversial penuh pro-kontra. Akhirnya hari ini pecah bisul juga membuat tulisan ini seiring muncul kejadian teror Joker di kereta Tokyo (31/10/2021). Dan bukan satu-satunya teror Joker di planet bumi ini sejak teror serupa yg menewaskan 12 korban penembakan massal di Amerika. Bukan main kharisma tokoh fiktif Joker ini .. Teringat dulu nonton film Batman versi tahun 90an yang masih bernuansa komikal dan theatrikal. Melihat Joker yg diperankan Jack Nicholson masih 'lucu' betulan mirip badut, ngga jahat2 banget kesannya walaupun penjahat. Tapi kok lihat tokoh Joker versi post-milenium ini beda ? Kharismatik, kelam, stress, suram.... psikopat-nya dapet ! Terus terang waktu nonton film Jok...

NEW NORMAL : Matinya Tourism dan Rekreasi. What's Next ?

 Unik jikalau memperhatikan sektor pariwisata mencoba menggeliat setelah tersungkur dihantam pandemi covid19. Mulai dari konsep restart tourism, virtual tourism, promo travelling sampai kicauan2 netizen yang nadanya sama : semoga pandemi lekas pergi, kondisi kembali seperti semula dan bisa travellng lagi. Benarkah kondisi ini bisa kembali semula ? Logis saja ya, sangat kecil kemungkinannya. Pandemi ini adalah shifting. Lembaran bab format baru sejarah dunia. Yes, kita sudah sampai di masa depan.  Welcome New World Order, di mana protokol kesehatan adalah tren . Yang dibutuhkan bukan lagi masa lalu tetapi paradigma baru. Oleh karenanya banyak kebiasaan dan gaya hidup kita di masa sebelum pandemi yang tidak relevan dengan saat ini. Salah satunya adalah pariwisata dan rekreasi. Sangat miris melihat #restarttourism yang baru menggeliat mengiringi euphoria vaksinasi kemudian dihantam kembali oleh isu virus covid varian delta. Konsep tourism apalagi yang akan digodok setelah ini ? s...