Sebetulnya sudah lama
saya ingin mengulik tokoh fiktif Joker ini sejak tragedi penembakan di
Aurora, Colorado 9 tahun lalu yang terinspirasi oleh film trilogi Batman,
"The Dark Knight".
Dan makin kepingin lagi
sejak rilis film "Joker" (2019) besutan Warner Bros yang
kontroversial penuh pro-kontra. Akhirnya hari ini pecah bisul juga membuat
tulisan ini seiring muncul kejadian teror Joker di kereta Tokyo (31/10/2021).
Dan bukan satu-satunya teror Joker di planet bumi ini sejak teror serupa yg
menewaskan 12 korban penembakan massal di Amerika.
Bukan main kharisma
tokoh fiktif Joker ini ..
Teringat dulu nonton
film Batman versi tahun 90an yang masih bernuansa komikal dan theatrikal.
Melihat Joker yg diperankan Jack Nicholson masih 'lucu' betulan mirip badut,
ngga jahat2 banget kesannya walaupun penjahat.
Tapi kok lihat tokoh
Joker versi post-milenium ini beda ? Kharismatik, kelam, stress, suram....
psikopat-nya dapet ! Terus terang waktu nonton film Joker yang heboh itu saya
sempat tersihir. Sangat persuasif, bagai menonton analisis psikologi Sigmund
Freud dalam sebuah presentasi yang mudah dan menghibur.
Joker adalah pesan.
Penggemar Joker itu
banyak, tidak bisa dipungkiri. Lebih banyak dari Batman, sang pahlawan
sepertinya. Film Joker adalah yang paling diantisipasi sejak debut sosok Joker
yang heboh di film The Dark Knight.
Sampai ada yang bilang
kalau film yang penjahatnya lebih keren dari jagoannya itu film Batman
(haha..).
Joker adalah
representasi dan visualisasi tentang kondisi depresif banyak orang hari ini.
Ketika dulu orang-otang tidak tahu apa masalah yang menimpa mental mereka, film
Joker ini ibarat analisis psikologi cuma2. Kita tidak perlu mahal2 datang ke
psikiater untuk mengetahui uraian kondisi psikis kita. Film Joker telah
mendeskripsikannya dengan impresif. Dan tanpa sadar kita (bisa) sepakat dengan
uraian itu.
Dan gawatmya, kita juga
bisa tak sadar sepakat dengan advis atau saran psikologis yang ditawarkan
Joker.
Bukan Joker sebetulnya
yang menawarkan gagasan menjadi kejam begitu, melainkan ini :
"Whoever control
the media, control the mind"
Tahun 1980 Marshall
McLuhan sudah meyakini bahwa prilaku manusia itu berubah seiring dengan
perkembangan media komunikasi massal yang ditemukan oleh manusia. Mulai dari
era penemuan kertas dan tinta, lalu mesin cetak, media massa koran, radio
audio, lalu visual televisi, iklan, rekayasa film sampai hari ini internet dan
sosial media.
Setiap penemuan media
yang baru diiringi pula oleh munculnya prilaku baru masyarakat. Dan sialnya,
komersil dan profit-minded selalu menjadi penunggang media2 itu, yang
berikutnya melahirkan 'penyimpangan prilaku'.
Joker adalah akumulasi
penyimpangan2 prilaku itu yang direpresentasikan kembali oleh media-media itu
sendiri. Hasilnya adalah sebuah identitas atau "now i know who i am".
Sebuah jawaban.
Kalau diibaratkan
produk, Joker ini seperti tas Hermes, sebuah brand yang bisa membubuhkan
jatidiri penggunanya yang berkelebihan duit. Hermes bukan sekedar tas tetapi
identitas.
Orang-orang yang
frustasi namun masih bingung dengan apa masalah mereka mendadak masalah itu
teridentifikasi dalam kemasan dengan branding yang 'keren' bernama Joker.
Bukan masalah mental
mereka tersolusikan, melainkan terlabeli. Stress itu keren. Psikopat itu
keren. No problem with that, take it Why so serious... prilaku
ignorant, dendam, suicidal, anarkis, anti-sosial seakan mendapatkan pembenaran.
Siaga media ?
Kita masih bisa turun ke
jalan berunjuk rasa ke sebuah pemerintahan, tapi tidak ke media. Media adalah
raja tanpa mahkota. Penguasa tanpa teritori. Dan kita adalah warganya di dalam
jagat citra. Apa yang mereka citrakan itulah realitas kita.
Hari ini bukan jamannya
satu orang pemimpin yang otoriter mendikte banyak orang. Tapi jamannya banyak
media mendikte banyak orang. Sialnya, yang paling menarik dan nyeleneh
kontennya - seperti film Joker - yang paling banyak digandrungi ketimbang yang
hakiki dan berfaedah.
Menjaga kewarasan dan
fikir saja tidak cukup untuk survive di zaman otoriter panser-panser media ini.
Tidak terjerumus dalam realitas virtual mereka itu satu hal, namun tidak
terimbas oleh prilaku2 menyimpang itu hal lain.
Siapa yang sangka ada
pesakitan yang terinspirasi konten sebuah film, duduk di kereta Tokyo menebar
teror...
Rakyat Prancis dulu
tidak membayangkan kekuasaan otoriter Raja Louis XIV bisa tumbang. Atau
membayangkan tumbangnya otoritarian seperti Unisovyet, Orde Baru, Jerman Nazi
... sekarang bisakah kita membayangkan ambruknya tirani media-media ?
Entah kenapa saya merasanya
sulit, karena kita sendiri sesungguhnya pelaku-pelaku media itu. Kitalah media
itu. Kitalah konten. Kitalah profit. Kitalah punggawanya. Di satu sisi film
Joker adalah sebuah balad, sebuah empati tapi siapa sangka di sisi lain dia
adalah sebuah inspirasi ?
"Medium is the
message" (McLuhan)
Joker is the message
Tidak ada Joker, yang
ada hanyalah media.
Siaga media bagi saya
itu adalah seperti yang pernah dikatakan Sultan Agung, Raja Mataram dulu kepada
para prajuritnya.
"ojo
gumunan"
(jangan gumun / gampang
terkesan)
Kata-kata yang
masih relevan dengan saat ini, selalu saya brainstorm kepada generasi-generasi
setelah saya di mana realita kehidupan mereka akan betul2 disusun oleh media
dan sosial media. Tidak gampang terkesan dan selalu berfikir dekonstruktif
mencari 'makna tersembunyi' dari setiap yang kita lihat.
Itu tadi
ikhtiarnya. Sisanya? kita berdoa kepada Tuhan memohon aman dan
keselamatan sepenuh kita menyadari hidup dalam rimba belantara digital hari
ini.
A lawless society.
Di mana terlalu banyak orang untuk diatur oleh hukum yang tidak berdaya dan
kerap tertinggal.
Comments
Post a Comment